Ingus, Tongkat Kayu Sakti dan Wanginya Napi *

Ingus adalah cairan yang sangat kusuka. Batang kayu  juga. Kemudian kata-kata “ Wangi, wangi!” jadi teman setia mulutku membahasakan keriangan, kesukaan, kegembiraan, ketakjuban. Karena kau tahu kawan? Itulah gambaran dunia yang kulukis dalam pandang terawang pengelamunan-pengelamunan panjang, Sesuatu yang kemudian membuat kalian menarik garis tegas batasan. Aku-gila. Kalian-waras. Aku tak mempermasalahkanya. Toh kalian selalu tak memuntahkan kata batasan itu di depanku. Amat jarang kutemui orang yang mau mengajakku  berbincang menuduhku , “ Gendheng kowe!”*)1 di tiap akhir perbincangan itu. Dan aku tak begitu mempermasalahkanya. Aku tak peduli. Aku lebih peduli pada benda-benda kesayanganku.

Ingus kental warna putih agak kuning adalah pengganti air minum jika aku kehausan dan tak segera menemui air minum. Batang kayu adalah tongkat sakti pengusir makhluk usil yang suka iseng menggangguku. Makhluk itu seringnya adalah manusia-manusia kecil berseragam merah putih. Sebetulnya mereka tidaklah nakal. Cuma sering melontarkan kalimat sakti kesayanganku itu: padaku.

“ Pi, Napi! Wangi! Wangi!”

Sungguh mengganggu. Seharusnya kulontarkan wangi itu pada mereka. Bukannya mereka  padaku. Aku ini sudah terlalu wangi. Mereka itu masih selalu amis. Tak kenal dunia luar. Tak bisa nonton balon-balon televisi di kepala mereka sendiri.Terlalu patuh pada manusia-manusia dewasa yang mengantarkanya ke sekolah itu. Tak pernah berbincang lama-lama dengan kepala sekolah yang mereka takuti itu. Jadi, semestinya mereka juga takut padaku.  Aku pernah berbincang-bincang dengan kepala sekolah mereka. Lama sekali. Saling cerita tentang keluarga masing-masing. Indah, mengharukan dan dewasa, tahu! Kuceritakan tentang benda-benda kesayanganku, ingus, tongkat kayu sakti  dan kata wangi itu. Ia cuma mengangguk-angguk tanda paham,mengerti dan respek. Kau dengar itu? Kepala sekolah yang kalian takuti itupun menaruh hormat padaku. Mengapa kalian berani-beraninya mengganggu-ganggu pengelamunanku?

Kukejar kalian manusia-manusia  kecil berseragam merah putih nan bau amis yang takut kepala sekolah! Ini tongkat kayu sakti pengusir hantu pengganggu, terimalah!

“ Wangi! Wangi!”

“ Hehe. Hihihi. Hahaha.”

Begitulah. Aku tahu kalian memang cuma bercanda. Kalian tak pernah serius. Kalian cuma main-main sepanjang bau amis itu masih menguar di tubuh kalian. Dan sambil terus-terus tertawa nuju kelas kalian masing-masing kalian membalas lagi umpatanku itu,

“ Wangi! Wangi! Wueeek. He he. Hi hi. Ha ha. ”

Aku tak pernah beranjak dari sini, dari gerbang sekolah kalian ini. Cuma kata-kata itu yang terbang mengejar membuntuti kalian.

“Wangi! Wangi!”

Aku tahu iapun bergelombang-gelombang, terus membuntuti kalian sampai relung-relung sempit ingatan kalian, sembunyi di sana menyimpan tenaga pantulnya, menunggu pagi berikutnya datang. Menunggu kata sama di hatiku membalas tenaga pantulnya, seumpama kekasih menanti janji rindu ketemu.

“Wangi! Wangi!”

Kita seperti sedang berbalas puisi.

“ Wangi!”

*

Rumah adalah neraka. Tempat aku meremuk. Tempat pa’e seenaknya ngamuk. Padaku, tentu saja. Jadi aku pun berkesimpulan bahwa kadang dunia bisa saja cuma selebar bilah tongkat bambu maha sakti yang ia pungut di sembarang tempat dan ia sayatkan ke tubuhku itu. Tongkat bambu maha sakti yang menciutkan aku jadi seonggok makhluk kerdil tak bernyali, pasrah menampa nganga semesta ngeri tak berperi.

“ Oalah pa’e… .”

Begitu mudah ia melampias marah. Begitu gampang ia memilih sasaran : Aku. Saat tak ada sepakat dengan saran lembut takut-takut ibu, saat pulang dinihari berbau wangi lain lagi yang tak sama dengan wangi ingus dan tongkat sakti kesayanganku, saat rutin mendapatiku sepagi-pagi cuma berkalung sarung pesing berteman ingus, merenung tongkat kayu sakti dan gumaman kata wangi kesayangan itu, saat itulah hal rutin semacam sayatan tongkat bambu maha sakti itu membikin ciut duniaku. Mebuatnya hilang wangi, tinggal asin , dingin, ngungun dan ngeri.

Harus betah menunggu pa’e reda. Tak mudah membuatnya mengerti dengan wangi dunia sejati. Selalu, selalu ingin kulontarkan padanya pandang koreksi yang lebih mirip sebagai pandang menantang. Cukup sekali pandang koreksi menantang saja. Tapi siapa berani menatap sekedar ujung jari kekarnya? Siapa begitu sembrono menantang aroma iblis di tatap apinya itu? Ma’epun tak kan mampu. Apalagi aku. Jadi yang patut kulakukan cumalah merenungi ngungun dunia selebar sayat tongkat bambu maha sakti itu. Sampai ia capek sendiri. Sampai ia mati kutu. Sebelum melemparkan pelotot mata api iblisnya itu untuk terakhir kali. Aku bisa merasakanya. Aku hafal irama sayatan itu. Kapan ia hendak mulai, menyentak keras, kapan ia sekedar sekali sekali nan mantap penuh tekanan, kapan ia mengendur mendekati usai eksekusi nan ngeri itu.

“ Dasar kerbau!”

“ Dasar anak genderuwo! ”

“ Begini bangkotan, masih saja ngompol, tak lekas bicara-bicara. Wangi saja yang kau bisa katakan ha?!”

“ Wangi?! Kau bilang wangi? Pesing begini! Memalukan!”

“ Hei, kamu! Lihatlah anak lanangmu ini! Sungguh merugi aku ….”

“ Sudahlah pak’ne …” pembelaan ma’e. Lirih saja.

“ Anak iblis dungu!”

Itulah kalimat penyelesaian yang selalu kurindu jika bujuk lembut takut-takut ma’epun tak lagi mempan di telinga lelaki bermata api itu.

Setelah itu ia akan hengkang dari duniaku. Entah ke mana lagi. Mungkin meneruskan mimpi-mimpinya, tanpa perlu mencari-cari dalil untuk sekedar membenarkan tindakanya barusan. Tak perlu ada penyesalan jika dalil itu ternyata menyalahkan. Cukup kukira cukup. Ia memang bapakku dan aku masihlah anaknya yang selalu ia akui dengan cara tak lazim begini selalu. Hhhhh.

Jika perkara rutin itu sudah usailah, baru kemudian aku menuju tempat favorit kesayangan. Kadang masih dengan sisa asin airmata, tentu dengan bilur-bilur luka itu pula aku nuju sana.

*

Ingus ini telah menetes rasa-rasanya sudah lama, semenjak aku lahir ke dunia barangkali. Meski lantas tak kubilang bahwa aku mengenal dunia pas pada saat itu juga.Tetap saja sampai saat ini aku belum cukup mengenal dunia. Pa’ekah ia ? Ma’e ? Aku sendiri? Sarung ini ? Ingusku itu? Tongkat kayu sakti? Tongkat bambu maha sakti? Pelotot mata iblis api? Ambin? Pesing? Gerbang sekolah ini? Warung mbak Nik ? mbak Nik itu sendiri? Lek To? Pit onthel? Wit kambil?*)2 Ah, begitu berupa-rupanya yang disebut orang sebagai dunia itu. Aku tak tahu apa-apa ya? Kata itu saja kutiru dari seorang perempuan menyedihkan yang tak pernah sekalipun kata-katanya, apalagi keberadaanya, diacuhkan suami tercinta;

Oalah dunia … .”

Oalah yang kutahu sebagai ratapan pelengkap ketidakberdayaan. Dan dunia yang tak pernah kutahu macam apa. Itulah mengapa aku selalu terobsesi dengan dunia dan tentu saja : wangi.

Cerita wangi adalah cerita yang sangat mengesankan.

Bu Sussaemi adalah salah satu dunia. Ia guru dunianya. Ia selalu berangkat ke dunia sekolah dunia mengajar dunia manusia kecil berseragam merah putih yang kecil pengetahuanya akan dunia itu. Ia barangkali punya dunia wawasan yang luas dunia karena guru dunianya. Dan yang paling penting adalah ia cantik alang kepalang. Yang lebih penting ia ramah. Dan yang lebih paling penting lagi ialah ia wangi! Dunia yang macam-macam dan wangi yang selalu itu saja. Mengesankan sekali. Wangi!

“ Mas namanya siapa?”

“ …. “

“ Mas kenapa di sini?”

“ Itu tanganya kenapa ko biru-biru?”

“ Hmm?”

“ Sendirian?”

“ Mana teman-temannya?”

“ Kok diam saja?”

“ Ya sudah, itu dilap ingusnya … .”

Tentu aku tak  pernah bisa menjawab pertanyaanya yang bertubi-tubi itu. Pertanyaanya yang bertubi-tubi yang hanya ia tujukan padaku itu?!?! Dunia! Wangi! Aku tak sanggup melupakan pertemuan pertama denganya. Aku juga tak sanggup melakukan perintahnya yang terakhir itu. Meski sebenarnya aku ingin sekali. Sekaligus memamerkan salah satu benda kesayanganku itu ; ingus. Lalu menjilatnya, menelanya. Seolah berkata,

“ Ini air minum kesayanganku bu! Enak sekali!”

Tapi entah perasaan macam apa yang mampu membekukan segala inginku waktu itu. Aku tak ingin ia tahu bahwa aku suka ingus. Orang dewasa, terutama pa’e , tak pernah setuju dengan kegemaranku menjilat dan menelan ingus.

“Memalukan! Jijik! Tolol !”

Aku belajar banyak dari kalimat itu. Jadi di depan ibu manis ini aku pun tak berani melakukanya. Takut ia akan sama seperti pa’e. Padahal aku ingin terkesan benar di matanya. Aku tertambat padanya melebihi sayang murid-muridnya yang bau amis itu. Jadilah aku diam saja menikmati wangi nafasnya, wangi tubuhnya, wangi rambutnya, wangi angin yang ia sibak, segala wangi yang ada padanya yang sepertinya cuma searoma itu. Bu Sus, manusia-manusia kecil berseragam merah putih itu selalu memanggilnya demikian, guru matimatika nan disayang murid-muridnya, ialah yang membikin aku suka betah di sini. Bukan semata  mengindar dari tatap iblis mata api pa’e. Tidak karena asyik mengelamuni wangi balon-balon udara yang kucipta sendiri, tempat aku menciptakan duniaku sendiri : dunia Napi, kata hati kecilku. Tetapi karena memang cuma Bu Suslah yang mampu mengalihkan dua benda kesayanganku ; ingus dan tongkat kayu sakti pengusir manusia kecil berseragam merah putih pengganggu nan amis. Meski dalam rentang waktu sejenak saja, jika aku ketemu ia dan ia menanyaiku selalu.

“ Mas namanya siapa?”

“ …. “

“ Mas kenapa di sini?”

“ Itu tanganya kenapa ko biru-biru?”

“ Hmm?”

“ Sendirian?”

“ Mana teman-temannya?”

“ Kok diam saja?”

“ Ya sudah, itu dilap ingusnya … .”

Tanpa aku pernah bisa menjawabnya. Tanpa ia sungkan menarik kacu*)3 yang selalu dikaitkan ma’e  di kerah baju apekku itu. Mengelap ingus kesayanganku  di seantero hidung yang telah tuntas bercampur liur itu sambil melontarkan senyum indah nan wangi pula: cuma untukku.

“ Ntar minta ibu nyuci kacunya ya?”

Ibu ??!

“ Ibu mas kan sayang sama mas. Jangan nakal ya sama ibu? Bantu ibu jualan tu…”

Katanya sambil melirik ma’e yang mesam-mesem sambil tanganya pura-pura sibuk membenahi gatot , thiwul dan cothot *)4daganganya.

Oh, maksudnya ma’e?  Kira’in.

Aku jadi malu. Terlalu malu menerima perlakuan sayangnya itu. Bu sus, ah bu Sus. Hanya ia  yang mampu mengimbangi dunia Napiku itu. Meski pa’e selalu begitu dan ma’e tetaplah ibu yang selalu kutunggu pembelaanya jika aku terdampar di dunia sempit selebar sayatan tongkat bambu maha sakti itu. Meski lirih. Meski cuma kalimat pendek setatih.

Ma’e yang kucinta lebih dari aku mencinta Bu Sus, lebih dari aku mencinta wangi segala.

“ Wangi! Wangi !”

“ Ma’e.”

Gerbang sd,

11,12,13 Mei 2011

Catatan kaki :

*)1       : Gila kamu!

*)2       : … sepeda onthel, pohon kelapa

*)3       : sinonim dengan celemek, slayer.

*)4       : Makanan tradisional orang jawa desa. Bagian dari jenis-jenis jajan pasar.

Pa’e = ayah.

Ma’e = ibu.

 

 

Tinggalkan komentar